Coretan Di Dinding Kaca

"Memaknai sebuah coretan bukanlah hal yang mudah"

Tugas Kelompok Sosiologi'

  • Nama Kelompok : Blueberry'

1.     DESY KASPARIANI
2.     INDAH PUSPITA ASHARI
3.     LILIS SURYANI
4.     VISTA NURSEPTIANI


Faktor-faktor yang mengintegrasikan masyarakat Indonesia yang Rawan Konflik'

1. Artikel Konflik Aceh

Provinsi di Ujung Pulau sumatera yang akrab kita sebut sebagai Serambi Mekah, sudah sejak lama menjadi seperti rumah bagi peluru dan salak senjata. Semenjak beratus ratus tahun lamanya yakni semenjak abad ke 17 kekerasan kerap melanda negeri serambi mekah tersebut. Saking terbiasanya dengan peperangan, maka rakyat Aceh sering menganggap perang hanyalah mainan belaka, tapi matinya sungguhan. Sejarah Aceh terdiri dari lembaran perang, dari satu kancah pertempuran ke pertempuran lainnya. Dari melawan Portugis, belanda, sampai dengan melawan saudara sebangsanya sendiri. Di mana mana kalau ada pemberontakan yang menyebabkannya tak lain dan tak bukan adalah rasa ketidak-adilan. Rasa kecewa terhadap apa yang berlaku. Dan kekecewaaan yang berkepanjangan pula inilah yang sering hingap di rakyat Aceh, mulai dari kecewa terhadap penjajahan Belanda,  dan kecewa terhadap pemerintahan Indonesia itu sendiri. Karena kecewa terhadap pemerintah inilah yang membuat Tengku daud Beureuh bersama sebagaian rakyat Aceh, memutuskan mengangkat senjata untuk melawan pemerintah Indonesia pada 21 september 1953. Berbeda dengan pemberontakan daerah lain di Indonesia, yang mana cepat dapat dipadamkan, perlawanan rakyat Aceh ini bisa dibilang yang paling lama dan paling bandel.

Meski pada akhirnya daud Beureuh dapat dibujuk untuk turun gunung, setelah segala tuntutannya dipenuhi, namun kekecewaan kembali hinggap di rakyat Aceh. mereka merasa sebagai daerah yang kaya akan sumber daya alam hanya menjadi sapi perah pusat saja. hasil bumi yang melimpah diperkirakan hanya 1 persennya saja yang sampai ke tangan rakyat Aceh. Hal inilah yang membuat Hasan Tiro dan kawan kawan kembali mengangkat senjata melalui panji-panji Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang didirikan pada tanggal 4 Desember 1974. Hal ini membuat Aceh kembali berlumuran dengan darah. paling sedikit 50 orang tewas setiap harinya selama 30 tahun. Berbagai upaya dilakukan untuk mendamaikan Aceh, namun semuanya pupus. Kembali derap-derap sepatu dan letusan mesin perang mewarnai udara Bumi Aceh.
Berbagai kekerasan yang acapkali terjadi di Bumi Aceh ini, pada akhirnya membuat alam pun  menjadi murka. Tsunami melanda serambi mekah dengan korban ratusan ribu. Kejadian Tsunami ini membuka mata semua pihak yang bertikai, menyadarkan mereka bahwa alam tidak restu dibasahi oleh tetesan darah. Untuk itulah pada saat akan dilakukan rehabilitasi paska Tsunami saya berpikir, tidak mungkin kita bisa membangun Aceh dengan cepat tanpa adanya perdamian. Bagaiamana ,itu bantuan kemanusiaan akan sampai kalau mereka selalu dihantui oleh desingan peluru, sampai-sampai saat mengunjungi Aceh saya harus dikawal panser dari empat penjuru. Keadaan yang tidak damai inilah yang sangat mengganngu saya dalam melakukan rehabilitasi Aceh paska Tsunami. Bagaimana itu pekerja-pekerja kemanusiaan yang masuk ke Aceh kalau tiba-tiba mereka hilang diculik, maka bisa lari semua itu pekerja kemanusiaan. dan Rakyat Aceh yang saat itu baru dilanda bencana akan terkatung katung, sementara pemerintah sendiri sangat membutuhkan bantuan dari pihak luar pada saat itu.

Karena dasar pemikiran itulah, maka saya langsung pergi menghadap ke presiden agar diberi mandat untuk mendamaikan Aceh. Dan menyerahkan semuanya kepada Hamid, dr. farid, dan Sofyan djalil untuk menguyrus masalah-masalah teknis. Mereka semua bekerja dengan ikhlas dan tanpa SK yang resmi. memang sempaty ada yang tanyakan masalah SK itu kepada saya, dan saya bilang ke mereka, “Kalau mau mendamaikan orang kenapa harus pakai SK, itu tidak ikhlas namanya” mendengar itu mereka tida bisa ngomong lagi, meski pada akhirnya saya mengeluarkan SK yang saya tanda tangani sendiri, dan memang secara legal itu kurang sah, karena memang tidak ada KEPWAPRES.

Tapi tak apalah demi kebaikan tidak apa-apa kita kalau kata orang jawa “nyeleneh sedikit” selama itu tidak melanggar hukum Tuhan. Meski dalam melakukan ini saya banyak dikritik, baik oleh parlemen, dan beberapa pejabat pemerintah tapi dengan ucapan “basmallah saya tetap jalankan” dan terbukti berhasil. dan mereka yang dulunya menghujat semuanya mau mengambil keuntungan. Tapi saya tidak permasalahkan hal itu, asal jangan mereka mau mengaburkan sejarah, kasihan generasi mendatang yang akan buta sejarah. Saya tidak ada maksud untuk membangga banggakan diri, bermaksud riya. Apa-pun itu sekarang kita sudah bisa melihat nilai positifnya, tak ada lagi deru mesin perang di serambi Mekah. meski di sana sini masih terdapat sedikit persoalan, semoga itu bisa diatasi oleh pemerintahan yang baru, dan saya siap membantu apabila diminta.

1.a Cara Penyelesaian Konflik Aceh, yaitu:
Pada masa reformasi, pemerintah bekerja sama dengan masyarakat telah melaksanakan berbagai langkah penyelesaiannya. Penetapan status otonomi khusus terhadap Provinsi NAD melalui UU No. 21 Tahun 2001, tidak menghentikan perlawanan oleh pihak GAM sehingga terus dilakukan upaya penanganan khusus. Melalui penetapan NAD sebagai daerah dengan status darurat militer pada tahun 2003, secara bertahap keamanan berhasil dipulihkan, hingga akhirnya wilayah NAD ditetapkan sebagai daerah dengan status darurat sipil pada tanggal 18 Mei 2004. Dalam kaitan itu, Polri telah menggelar operasi penegakan hukum yang merupakan bagian dari lima program operasi terpadu. Meskipun telah memasuki tahapan penyelesaian dengan diberlakukannya tertib sipil, masalah separatisme NAD tetap membutuhkan penanganan yang tegas sekaligus hati-hati untuk menjamin integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Selanjutnya, dalam upaya menyelesaikan persoalan konflik Aceh terutama dengan pihak GAM, pemerintah terus melakukan upaya dialog damai (mediasi) dengan pihak GAM untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada, seperti isu otonomi khusus, amnesti, politik, dan ekonomi. Di samping itu, terjadinya musibah tsunami 26 Desember 2004 telah mampu memupuk solidaritas dan kepedulian sosial oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, kondisi ini merupakan landasan awal yang baik dan secara signifikan dapat mengangkat citra positif pemerintah di mata masyarakat Aceh. Demikian juga, solidaritas internasional yang dalam pelaksanaan tugas kemanusiaan bersedia dikoordinasikan oleh Pemerintah Indonesia dan tidak mengaitkan bantuannya dengan tujuan-tujuan politik tertentu, secara signifikan dapat mengangkat citra positif pemerintah di mata masyarakat Aceh.

Musibah tsunami juga telah berpengaruh pada menurunnya perlawanan bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sehingga pemerintah dapat berkonsentrasi secara lebih baik dalam pembangunan kembali wilayah Aceh. Bersedianya tokoh separatis GAM di luar negeri untuk berdialog dengan Pemerintah secara informal melalui mediasi LSM internasional Crisis Management Initiative di Helsinki, Finlandia merupakan kemajuan yang positif. Oleh karena itu, pendekatan persuasif secara simultan terus dilakukan untuk mencapai penyelesaian konflik dan perdamaian yang bermartabat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasar Undang-Undang Dasar kita. Dalam upaya tersebut juga termasuk dipertimbangkannya anggota GAM yang mau kembali ke pangkuan ibu pertiwi untuk mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati, atau walikota dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).

1.b Faktor yang mengintegrasikan masyarakat Aceh dari konflik adalah:      
1.    Terjadinya musibah tsunami 26 Desember 2004 mampu memupuk solidaritas dan kepedulian sosial dari sebagian besar masyarakat Indonesia, ini mampu membuat  rakyat Aceh sadar akan dimana ia berada.
2.    Kesepakatan terhadap nilai-nilai yang fundamental, misalnya Pancasila, bhineka tunggal ika, UUD 1945 dan sebagainya.
3.    Peranan penting pemerintah dalam hal ini sebagai wasit sehingga integrasi yang tumbuh diatas landasan coercion (paksaan).


2. Artikel Konflik Tarakan

Pada tanggal 26 September 2010, terjadi perselisihan antara dua kelompok pemuda di kawasan Perumahan Juata Permai [1] yang mengakibatkan seorang pemuda bernama Abdul Rahmansyah terluka di telapak tangan. Abdul pulang ke rumah untuk meminta pertolongan dan diantar pihak keluarga ke RSU Tarakan untuk berobat. Pada 27 September sekitar pukul 00.30 Wita, Abdullah (56), orangtua Abdul Rahmansyah, beserta enam orang yang merupakan keluarga dari suku Tidung berusaha mencari para pelaku pengeroyokan dengan membawa senjata tajam berupa mandau, parang, dan tombak. Mereka mendatangi sebuah rumah yang diduga sebagai rumah tinggal salah seorang dari pengroyok di Perum Korpri. Penghuni rumah yang mengetahui rumahnya akan diserang segera mempersenjatai diri dengan senjata tajam berupa badik dan parang. Setelah itu, terjadilah perkelahian antara kelompok Abdullah dan penghuni rumah tersebut yang adalah warga suku Bugis Letta. Abdullah meninggal dengan kondisi kedua tangannya terpotong akibat ditebas senjata tajam. Pukul 01.00 Wita, sekitar 50 orang dari kelompok suku Tidung menyerang Perum Korpri. Para penyerang membawa mandau, parang, dan tombak. Mereka merusak rumah Noordin, warga suku Bugis Letta.

Pukul 05.30 Wita terjadi pula aksi pembakaran rumah milik Sarifudin, warga suku Bugis Letta, yang juga tinggal di Perum Korpri. Pukul 06.00 Wita, sekitar 50 orang dari suku Tidung mencari Asnah, warga suku Bugis Letta. Namun, ia diamankan anggota Brimob. Pukul 10.00 Wita, massa kembali mendatangi rumah tinggal Noodin, warga suku Bugis Letta dan langsung membakarnya. Pukul 11.00 Wita, massa kembali melakukan perusakan terhadap empat sepeda motor yang berada di rumah Noodin. Pukul 14.30 Wita, Abdullah, korban tewas dalam pertikaian dini hari, dimakamkan di Gunung Daeng, Kelurahan Sebengkok, Tarakan Tengah, Tarakan. Pukul 18.00 Wita, terjadi pengeroyokan terhadap Samsul Tani, warga suku Bugis, warga Memburungan, Kecamatan Tarakan Timur, Kota Tarakan, oleh orang tidak dikenal. Pukul 18.00 Wita, personel gabungan dari Polres Tarakan (Sat Intelkam, Sat Reskrim, dan Sat Samapta) diperbantukan untuk mengamankan tempat kejadian perkara.

Pukul 20.30 Wita hingga 22.30 Wita, berlangsung pertemuan yang dihadiri unsur pemda setempat, seperti Wali Kota Tarakan, Sekda Kota Tarakan, Dandim Tarakan, Dirintelkam Polda Kaltim, Dansat Brimob Polda Kaltim, Wadir Reskrim Polda Kaltim, serta perwakilan dari suku Bugis dan suku Tidung. Pertemuan berlangsung di Kantor Camat Tarakan Utara. Dalam pertemuan itu, disepakati bahwa masalah yang terjadi adalah masalah individu. Para pihak bertikai sepakat menyerahkan kasus tersebut pada proses hukum yang berlaku. Polisi segera bergerak mencari pelaku. Semua tokoh dari elemen-elemen masyarakat memberikan pemahaman kepada warganya agar dapat menahan diri.

Pada tanggal 28 September pukul 11.30 Wita, polisi menangkap dua orang yang diduga kuat sebagai pelaku dalam pembunuhan Abdullah. Mereka adalah Baharudin alias Bahar (20) dan Badarudin alias Ada (16). Namun, pada Selasa pukul 20.21 Wita, terjadi lagi bentrokan yang melibatkan sekitar 300 warga dan aksi pembakaran terhadap rumah milik Sani, salah seorang tokoh suku Bugis Latte Pinrang. Dua orang tewas adalah Pugut (37) dan Mursidul Armin (15), sementara empat orang lainnya terluka sehingga korban tewas akibat Bentrok Tarakan sebanyak 3 orang. Mabes Polri telah mengirimkan 172 personel brimob dari Kelapa Dua untuk mendukung pasukan Polres Tarakan. Pasukan diberangkatkan pukul 04.00 WIB dari Bandara Soekarno-Hatta dan tiba di Tarakan pukul 07.30 Wita.

Bentrokan kembali terjadi di antara warga yang bertikai. Perkelahian yang mulanya terjadi di pinggir kota kini meluas ke dalam kota. Awalnya, bentrokan hanya berlangsung di pinggiran kota, mulai di kawasan Juwata hingga ke Jalan Gajah Mada dan Yos Sudarso. Namun, pagi ini (Rabu) bentrokan sudah meluas ke pusat kota hingga ke Selumit Dalam. Bentrokan kali ini merenggut 2 korban jiwa. Bentrokan yang terjadi di kawasan Jl Yos Sudarso itu berlangsung sekitar pukul 08.00 pagi. Dua korban terakhir diketahui bernama Iwan (31) dan Unding (30). Kedua korban dibawa mobil polisi untuk kemudian diangkut ke RSUD Tarakan. Sejak Selasa hingga Rabu salah satu kelompok yang bertikai telah memblokir akses dari bandara dan Pelabuhan Juwata. Situasi Kota Tarakan masih sangat mencekam. Kedua kubu masih saling serang secara seporadis dengan menggunakan beberapa jenis senjata tajam. Sementara personel Polri dibantu TNI masih terus berupaya mengendalikan kedua massa agar menghentikan bentrokan tersebut.

Akibat bentrokan ini, suasana kota Tarakan mencekam. Warga di penjuru Tarakan yang dilanda ketakutan berbondong-bondong menuju tempat pengungsian. Titik-titik pengungsian ada di Yonif 613 Raja Alam, Juata Permai, Bandara Juwata dan Lanud, Kompi C Yonif 613 Raja Alam, di Mamburungan, Mapolres Tarakan yang menampung lebih dari 1.000 orang,[9] Lanal Tarakan Jl Yos Sudarso dan SD 029 Juata Permai dan beberapa tempat lainnya. Dari catatan Polda Kaltim, jumlah pengungsi mencapai 40.170 jiwa.[10] Mereka memenuhi sejumlah fasilitas militer dan polri, guna menyelamatkan diri dari amukan massa. Bahkan ribuan warga Tarakan diungsikan keluar pulau seperti di Pulau Nunukan.

 2.a Upaya perdamaian Konflik Tarakan, yaitu:
Bentuk Pengendalian konflik di Tarakan dengan menggunakan metode Mediasi. Dimana pihak bersengketa antara Pihak Suku Tidung dengan Pihak pendatang  Suku Bugis menunjuk pihak ketiga yaitu Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak yang menengahi masalah antara kedua belah pihak bersengketa. Pada malam harinya, diadakan mediasi mengenai kesepakatan damai antara pihak Suku Tidung dengan pihak pendatang Suku Bugis di ruang VIP Bandara Juata dan yang menjadi mediator adalah Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Dalam keterangan kepada pers mempersilakan kedua pihak untuk menyampaikan hasil kesepakatan. Hasil kesepakatan itu dibacakan secara bergantian oleh dua kelompok dari Tidung dan Sulawesi Selatan. Berikut ini adalah 10 butir kesepakatan damai antara kedua belah pihak:
1.    Masyarakat diminta mengakhiri konflik;
2.    Masyarakat diminta memahami bahwa peristiwa di Tarakan adalah kriminal murni;
3.    Polisi diminta membubarkan massa yang bergerombol;
4.     Polisi diminta tegas dan melarang warga membawa senjata tajam;
5.     Masyarakat diminta menghormati adat-istiadat setempat;
6.    Para warga yang sempat mengungsi diminta kembali untuk beraktivitas normal;
7.    Polisi diminta memproses secara hukum para pelaku yang diduga terlibat;
8.    Masyarakat diminta tidak mudah terprovokasi;
9.     Kedua kelompok masyarakat akan menggelar halal bihalal yang difasilitasi pemerintah daerah;
10. Kesepakatan ini agar segera disosialisasi kepada seluruh warga. Intinya adalah bahwa kedua belah pihak sepakat untuk menghentikan aksi dan sepakat untuk berdamai.

Hasil kesepakatan ini juga akan disosialisasikan ke kedua kelompok dan pihak Muspida yang hadir dalam pertemuan itu. Selain itu, kesepakatan ini juga meminta kepada pihak massa untuk meletakkan senjata. Jika tidak, akan dilakukan tindakan hukum dalam 24 jam ke depan dan massa juga diminta untuk membubarkan diri. Sementara pihak Muspida Kaltim gubernur, Panglima, Ketua DPRD Kaltim, Wali Kota berkunjung ke pengungsian, salah satunya di Polres Tarakan.
Imbas dari kesepakatan damai itu, suasana Kota Tarakan kembali normal pada 30 September 2010. Lalu lintas jalan raya kota mulai ramai. Pusat pertokoan mulai dibuka kembali. Namun, sekolah masih ditutup karena para murid masih diliburkan dan dibuka kembali pada 1 Oktober 2010. Proses pemulangan pengungsi sendiri, dilakukan sejak tadi malam, pasca penandatanganan kesepakatan damai. Proses pemulangan ini terus dilakukan hingga pagi tadi pukul 07.00 Wita. Gelombang pemulangan terbanyak terjadi sekira pukul 05.00 Wita. Pengungsi dipulangkan dengan diangkut menggunakan truk milik tentara dan polisi. Titik pengungsi seperti di Polres Tarakan, AL, Yonif, Lanud, Brimob, bandara sampai pukul 08.00 WIB pagi tampak sudah bersih dari pengungsi.

2.b Faktor yang mengintegrasikan masyarakat Tarakan dari konflik adalah: 
Adanya konsensus yang lebih menekankan pada dimensi budaya  (teori struktural fungsional).
Pemerintah berperan penuh sebagai wasit, sehingga integrasi yang tumbuh diatas landasan coercion (paksaan).
Setiap masyarakat terintegrasi diatas penguasa atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang lainnya.

3. Artikel Konflik Poso 

Kasus Poso merupakan potret buram hubungan Islam dan Kristen di Indonesia. Persaingan antara pemeluk Islam dan Kristen sebenarnya telah ada semenjak era kolonial, tetapi baru pada Era Reformasi persaingan tersebut berubah menjadi konflik berdarah. Kebijakan untuk menghindari isu SARA di Era Orde Baru ternyata berbuah ledakan konflik setelah tumbangnya kekuasaan Orde Baru. Konflik Poso umumnya dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama berlangsung pada tanggal 25-30 Desember 1998 dipicu oleh penyerangan terhadap Ridwan (21 tahun) yang sedang tidur-tiduran di masjid oleh tiga pemuda Kristen yang sedang mabuk. Peristiwa tersebut kemudian disusul dengan penyerangan oleh massa Herman Parimo ke sejumlah rumah milik warga muslim. Peristiwa tersebut diakhiri dengan ditangkapnya Herman Primo yang diadili pada awal Januari 1999.

Konflik Poso fase kedua terjadi pada 15-21 April 2002. Konflik jilid kedua dipicu oleh perkelahian antara pemuda Kristen dan pemuda Islam. Peristiwa tersebut disusul dengan perusakan dan pembakaran rumah, kios, serta bangunan sekolah milik warga Kristen dan mengakibatkan pengungsian kalangan Kristen. Konflik Poso Fase ketiga terjadi pada 23 Mei-10 Juni 2001. Kerusuhan tersebut dimulai dengan kehadiran pasukan ninja pimpinan Fabianus Tibo. Pada pertengahan Mei mulai terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok Tibo. Puncaknya adalah pembunuhan sekitar 200 santri di Pesantren Walisongo.
Konflik Poso mengakibatkan 504 orang meninggal, 313 orang terluka, dan sebanyak 7022 rumah terbakar, 1378 rumah rusak berat dan 690 rumah rusak ringan, 31 tempat ibadah rusak, sebuah Pesantren rusak, dan berbagai fasilitas lainnya. Konflik fase ketiga adalah yang paling berdarah dalam rangkaian kasus Poso. Konflik Poso diakhiri dengan penangkapan dan penahanan para tersangka, di antaranya adalah hukuman mati terhadap Fabianus Tibo dan penangkapan beberapa warga dari pihak Islam. Dalam konflik Poso, institusi agama, seperti gereja dan ormas Islam turut campur. Kasus Poso fase kedua dan ketiga menyebabkan mobilisasi massa dengan menggunakan jaringan agama masing-masing. Gereja menjadi tempat untuk mobilisasi massa Kristen, sementara itu Ormas-ormas Islam menjadi sarana untuk mengumpulkan dukungan untuk membantu sesama muslim.

Secara acak, konflik Poso masih belum sepenuhnya reda sampai beberapa waktu kemudian dengan adanya mutilasi tiga orang siswi Kristen dan pembunuhan seorang pendeta. Kasus Poso kemudian juga menarik perhatian internasional, terutama setelah terjadinya kasus World Trade Centre 11 September 1999. pemerintah Indonesia mendapatkan tekanan dari pihak asing untuk menyelesaikan kasus Poso dan menekan kelompok-kelompok Islam yang dituduh sebagai Jemaat Islamiyah (JI).

3.a Cara Penyelesaian Konflik Poso, yaitu:
Upaya-upaya menghentikan konflik telah dilakukan sejak konflik di Poso dimulai pada tahun 1998. Namun, situasi konflik hanya dapat dihentikan sementara waktu karena kemudian muncul lagi konflik susulan dengan eskalasi konflik yang makin meningkat dan lebih meluas. Pertemuan Malino tahun 2001 serta operasi pemulihan keamanan Sintuwo Maroso merupakan beberapa upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi dan menuntaskan persoalan konflik di Poso. Munculnya kembali konflik tersebut pada tahun 2004/2005 mencerminkan bahwa pemicu konflik tampaknya belum sepenuhnya dapat dikendalikan.
Untuk menciptakan perdamaian yang permanen di Poso, mediasi kedua pihak yang berkonflik yakni masyarakat Poso beragama Islam dengan yang beragama Kristen perlu dilakukan. Sebab mediasi bisa menjembatani kepentingan-kepentingan kedua pihak untuk diwujudkan tanpa mencederai kepentingan manapun. Dengan mediasi maka akan ditemukan jalan bersama bagi kedua pihak yang bertikai sehingga kesenjangan sosial dan ketidakadilan, terutama terjadinya marjinalisasi politik antara penduduk asli dan para pendatang tidak terjadi lagi di masa mendatang. Selain itu perlu promosi dan penerapan nilai-nilai kearifan lokal sebagai pendekatan budaya dalam menyelesaikan konflik di Poso merpakan pendekatan terbaik dan efektif. Nilai kearifan lokal Poso adalah Sintuwu yang merupakan mufakat bersama untuk melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama. Selain itu juga memaksimalkan nilai kearifan lokal lainnya yakni tradisi padungku yang merupakan bentuk kesyukuran atas nikmat dan rezeki yang telah diberikan oleh Tuhan. Promosi nilai kearifan lokal ini bisa dilakukan melalui pendidikan formal kepada anak-anak sejak dini dan melalui organisasi masyarakat setempat.

Kehidupan politik, sosial, dan ekonomi yang baik dan kuat, serta nilai-nilai luhur budaya lokal yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat sangat diperlukan di Poso. Sebab kondisi itu akan membuat upaya pihak yang sengaja menghembuskan isu etnis dan agama untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan tujuan membuat masyarakat terprovokasi dan bersikap anarkis tidak akan tercapai. Dengan demikian perdamaian di Poso akan bersifat permanen.

3.b Faktor yang mengintegrasikan masyarakat Poso dari konflik adalah:       
Dilakukan Deklarasi Malino untuk Poso (dikenal pula sebagai Deklarasi Malino I). Deklarasi itu ditandatangani pada 20 Desember 2001 oleh 24 anggota delegasi Kelompok Kristen (merah) dan 25 anggota dari delegasi Kelompok Islam (putih). Terdapat 10 poin dalam kesepakatan tersebut yakni:
1. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan;
2. Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar;
3. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan;
4. Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaan darurat sipil serta campur tangan pihak asing;
5. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama;
6. Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat;
7. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung;
8. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing;
9. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh;
10. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan pemerintah dan ketentuan lainnya.

4. Artikel Konfik Ambon

Pada hari Minggu, 28 April 2002, pukul 04 pagi, desa Soya, Ambon yang terletak di pegunungan, tempat penampungan pengungsi yang selama ini belum pernah terusik oleh kekerasan selama konflik Ambon. Desa ini disusupi dan diserang oleh sekelompok orang yang sangat terlatih. Warga desa, termasuk seorang balita dibantai, tiga puluhan rumah dibakar dan gereja dimusnahkan. Paling-kurang 12 orang dikabarkan terbantai disamping sejumlah orang yang luka-luka. Serangan subuh yang didahului dengan padamnya listrik ini terjadi hanya tiga hari setelah penaikan bendera RMS tanggal 25 April yang lalu. Sebelumnya, di awal April, tepatnya tanggal 03 April 2002 terjadi pelemparan bom berkekuatan dahsyat yang diikuti oleh pembakaran Kantor Gubernur. Tiga peristiwa beruntun dalam tempo hanya satu bulan ini dengan jelas menunjukkan bahwa setelah Kesepakatan Malino II ditanda-tangani, bukannya proses perdamaian yang bergulir-berkembang tetapi justeru suatu eskalasi kekerasan yang memasuki fase konflik terbaru. Secara jelas-terpola terlihat bahwa konflik Ambon sebelum Malino II yang bersifat horizontal sedang digiring untuk dirubah menjadi konflik vertikal dengan fokus issue: separatisme RMS/FKM (Republik Maluku Selatan/Front Kedaulatan Maluku).

Tulisan ini berusaha untuk menjawab tiga pertanyaan pokok, yaitu: (1) mengapa proses pengguliran perdamian pasca-Malino tersendat, (2) apakah gerakan separatis RMS/FKM itu ancaman riel terhadap integrasi NKRI ataukah hanya hantu piaraan jadi-jadian, dan (3) apa implikasi pengubahan bentuk konflik dari konflik horizontal ke konflik vertical bagi prospek perdamaian di Ambon.
Tersendatnya Proses Perdamaian Pasca-Malino II Inisiatif Malino adalah suatu inisiatif terobosan yang tepat momentumnya. Hanya saja proses penyiapannya dan pelaksanaannya terlalu terburu-buru dan terikat pada target dan jadwal yang ketat. Masalah-masalah hubungan antar-kelompok yang kental dengan sentimen-sentimen suku dan agama yang mengakar-kokoh dalam kesadaran subjektif para anggotanya ditambah dengan sedemikian banyaknya kepentingan ekonomi-pilitik dari berbagai pihak, jelas tidak dapat dijadwalkan dengan target-target pasti menurut logika dan cara kerja birokrasi. Proses penyiapan dan pelaksanaan yang terburu-buru itu melahirkan tiga kelemahan utama yang tak terhindarkan yang terbawa-bawa hingga saat ini. Pertama, inisiatif yang diprakarsai oleh Menko Kesra, Yusuf Kalla, untuk suatu urusan yang sebetulnya menjadi kewenangan dari perangkat Menko Polkam tidak saja telah mengaburkan lingkup kewenangan masing-masing tetapi juga yang lebih penting telah memarginalkan peranan dari unsur-unsur jajaran Polkam, khususnya TNI. Ketidak-nyamanan dari pihak militer ini sempat terbersit dalam proses pelaksanaan perundingan di Malino. Ketidak-nyamanan militer ini semakin kentara ketika proses sosialisasi kesepakatan Malino mulai digulirkan di lapangan.

Pihak militer tidak terlalu antusias berpartisipasi. Gubernur Latuconsina beberapa kali mengalami kesulitan dalam berkoordinasi dengan pihakPangdam Pattimura. Keengganan pihak militer ini dapat berakibat fatal karena (1) 80 % dari jaminan keberhasilan pelaksanaan butir-butir kesepakatan Malino ada di tangan militer; dan (2) muncul beberapa hal yang sulit dimintakan klarifikasinya, seperti: mengapa ada satuan-satuan Kopassus di luar satuan-satuan resmi yang memang ditempatkan di sana ? Siapakah dua anggota Kopassus yang tertangkap tangan membawa granat pada saat demo ke Mapolda tempat dr.Alex Manuputty ditahan ? Mengapa ada beberapa jendral yang turun ke Ambon dan turut berkiprah ? Dibawah kendali siapakah unsur-unsur militer ini ? Mengapa Gereja Silo bisa dibakar pada tgl. 25 April 2002 padahal disekitar gereja itu ada sebanyak seratusan personil bersenjata lengkap berjaga-jaga ?

Kelemahan inheren kedua dari persiapan dan pelaksanaan Konperensi Malino yang terburu-buru adalah tidak-tersedianya waktu yang cukup bagi kedua ummat yang bertikai untuk melakukan konsolidasi internal. Konsolidasi internal ini bukan hanya diperlukan untuk menyepakati siapa-siapa saja yang akan menjadi wakil dari masing-masing pihak tetapi yang terlebih penting adalah untuk mengantisipasi dan mengendapkan kosekwensi-konsekwensi lapangan dan implikasi-implikasi apa yang harus dihadapi dengan kehadiran dan partisipasi masing-masing ummat di meja perundingan. Penolakan dari beberapa tokoh untuk datang ke Malino diduga lebih disebabkan oleh belum dicapainya konsolidasi internal tentang butir-butir negosiasi yang seyogianya ditawarkan di Malino.

Kelemahan utama ketiga adalah tidak-jelasnya sistem dan mekanisme monitoring atas proses pengguliran perdamaian di Ambon pasca-Malino II. Tidak jelas siapa yang harus memonitor siapa. Apakah Penguasa Darurat Sipil merangkap semuanya mulai dari sebagai pelaksana, fasilitator, koordinator, pengaman sampai dengan pemantau dan evaluator atas proses pengupayaan perdamaian yang sedang berlangsung ? Ataukah DPR daerah secara sendiri-sendiri maupun dengan bekerjasama dengan DPR Pusat ? Hingga saat ini Baik Menko Polkam, Menko Kesra maupun Gubernur sebagai Penguasa Darurat Sipil belum pernah dipanggil dan diminta pertanggung-jawaban mereka oleh DPRD maupun oleh DPR Pusat. Hasilnya adalah semakin menumpuknya ketidak-jelasan yang saling susul-menyusul dari waktu ke waktu.

Ketidak-jelasan sistem dan mekanisme pemantauan di atas semakin diperparah dengan lambannya pemerintah Pusat dan Daerah mengimplementasikan butir-butir kesepakatan Malino II khususnya pembentukan Tim Investigasi Nasional. Jangankan Tim yang disebut terakhir terbentuk, Komisi-Komisi Kemanan dan Kesejahteraan yang ditetapkan di Malino belum sekalipun mengadakan pertemuan lagi setelah Malino II usai. Antusiasme rakyat akar-rumput dari kedua umat menyambut inisiatif damai Malino akhirnya terancam meredup digantikan oleh kekecewaan demi kekecewaan dengan terjadinya tiga peristiwa tragis berturut-turut yang dikemukakan pada awal tulisan ini. Kelambanan dan ketidak-siapan pemerintah Pusat dan Daerah dapat membuka celah bagi pihak ketiga untuk melakukan sabotase terhadap baik proses maupun atmosfir perdamaian yang sempat berkembang pasca Malino II.

Rielkah Ancaman Separatis RMS/FKM ?  RMS yang diproklamirkan pada 25 April 1950 oleh Dr. Smoukil dkk kekuatan militernya telah musnah dengan menyerahnya pentolan RMS itu pada 4 Desember 1963. Sejak itu, RMS hanya menampakkan diri secara ritual dalam acara tahunan penaikan bendera baik di beberapa tempat di Maluku Tengah maupun di Negeri Belanda. Aksi kekerasan yang cukup berarti di Negeri Belanda adalah pada saat beberapa anak muda Ambon menyandra kereta-api pada tahun 1975 di wilayah Assen. Selama masa Orde-Baru kegiatan ritual tahunan pengibaran bendera RMS hampir tidak terjadi samasekali di Ambon dan pulau-pulau sekitarnya. Hanya di Negeri Belanda yang terus berlangsung.
Para pendukung gagasan separatis RMS sangatlah terbatas baik dalam lingkup daerah maupun pada tataran generasi. Sejak awal diproklamirkan gagasan RMS hanya didukung sebagian kawasan kecil di Maluku Tengah, yaitu: pulau Ambon, sebagian kecil pulau Seram, Saparua, Haruku dan Nusa Laut. Maluku Utara maupun Maluku Tenggara sangat menentang ide separatis ini. Di keempat pulau kecil di Maluku Tengah itupun terbatas hanya pada beberapa desa Kristen, seperti desa Aboru dan desa Islam seperti Tulehu. Itupun tidak dapat dikatakan bahwa seluruh warga desa-desa itu mendukung RMS. Hanya kebetulan para pentolan nya saja yang berasal dari desa-desa itu.

Para pendukung RMS inipun bukan pendukung dengan keyakinan ideologis yang kokoh. Sebagian besar mereka lebih terseret karena hubungan keluarga maupun hubungan perkawanan. Di negeri Belanda, para pendukung RMS ini hanya mereka dari marga-marga yang berasal dari lima pulau di Maluku Tengah yang telah disebut di atas. Dari aspek generasi, para pengikut RMS lebih banyak ada di kalangan generasi pertama mantan angggota KNIL yang sekarang terkonsentrasi tinggal di wilayah Assen, Belanda. Di kalangan generasi kedua mantan KNIL ada juga pengikut RMS tapi tidak sebanyak mereka dari generasi pertama. Akan halnya generasi ketiga keluarga mantan KNIL di Belanda lebih terserap ke dalam pergaulan anak-muda Eropa Barat dengan segala hingar-bingar budaya pop-modern. Samasekali tidak terbercik gagasan RMS itu di benak generasi anak muda keturunan mantan KNIL ini. Pengidentifisian diri dari mereka sebagai pengikut RMS lebih bertolak dari hasrat yang kuat untuk mendapat identitas diri yang eksklusif di tengah-tengah pergaulan masyarakat Belanda yang sudah mulai kebanjiran dengan para migran dari Afrika Utara dan Turki.

Karena itu dapat disimpulkan bahwa basis kekuatan militer, sosial dan ekonomi dari RMS sangatlah tidak berarti dan sebab itu dapat diabaikan sebagai ancaman serius bagi keutuhan NKRI. Akan halnya Front Kedaulatan Maluku yang dideklarasikan oleh dr. Alex Manuputty dkk sebetulnya lebih merupakan letupan frustrasi akan kegagalan Negara dalam mencegah dan menghentikan saling-bantai di Maluku, Ambon khususnya. Kehampaan peranan Negara, dan kalaupun ada sangat lambat dan lamban, telah menyuburkan rasa ditinggalkan/diterlantarkan oleh NKRI. Keadaan kehampaan peranan negara beserta rasa diterlantarkan inilah yang dimanfaatkan oleh dr. Alex dkk untuk menghidukan kembali gagasan separatisme RMS. FKM ini lebih digunakan untuk menggugat peran Negara dan menyetop pembantaian di Ambon dan sekitarnya. FKM tidak mempunyai Satgas-Satgas seperti yang dipunyai oleh OPM di Papua Barat. Mereka juga tidak melakukan kampanye ideologis ke tengah-tengah masyarakat. FKM, seperti halnya GAM di Aceh dan OPM di Papua Barat sebetulnya perlu dilihat sebagai wujud protes atas ketidakadilan yang diderita wilayah-wilayah itu selama Orde Baru. Karena itu, jalan keluar bagi masalah-masalah ini lebih terletak di luar wacana dan tatacara pendekatan sekuritas. Pembenahan masalah-masalah ekonomi, politik, sosial dan budaya lebih perlu dikedepankan daripada tuduhan-tuduhan separatisme yang hanya akan meningkatkan eskalasi kekerasan di Ambon.

Prospek Perdamaian di Ambon. Sesungguhnya prospek perdamaian telah mendapatkan momentumnya yang tepat dengan digelarnya Malino II. Pegelaran Malino II telah berfungsi sebagai palu penegasan yang melengkapi upaya panjang yang telah diusahakan terlebih dahulu oleh masyarakat akar-rumput. Hanya saja karena kelemahan-kelemahan inheren yang telah dikemukakan di atas, telah membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk terus menggangu proses pengguliran perdamaian yang sangat didambakan itu. Prospek perdamaian ini semakin mengabur dengan kampanye gratis yang dipetik oleh gerakan separatis RMS/FKM menjelang hari ulangtahun nya tanggal 25 April yang lalu dan sesudahnya sampai dengan peristiwa pembantaian warga desa Soya hari Minggu lalu. Bila penggelembungan isu separatisme RMS terus dilakukan apalagi diidentikkan dengan umat Kristen di Maluku maka pihak separatis dapat memanfaatkan jenis serangan seperti yang menimpa desa Soya untuk menarik simpati masyarakat dan menampilkan diri sebagai satu-satunya pembela kehormatan rakyat Maluku. Cara-cara penggelumbungan isu separatis GAM seperti yang pernah dilakukan di Aceh sebaiknya jangan diulangi di Ambon. Justeru cara-cara penggelembungan itulah yang mengancam integrasi NKRI.

Kampanye gratis ini diberikan baik oleh pihak Penguasa Darurat Sipil maupun pimpinan aparat kemanan di Ambon dalam bentuk tindakan-tindakan antisipasi yang berlebihan dan kelengahan penanganan yang dilakukan pada hari pengibaran bendera RMS 25 April yang lalu. Paling-kurang seminggu sebelum tgl. 25 April 2002 pihak Penguasa Darurat Sipil telah menutup Ambon bagi para wartawan asing dan LSM asing untuk mencegah kedatangan para pendukung RMS dari Negeri Belanda. PDS juga telah memberlakukan jam malam dari pukul 22.00 hingga pukul 06.00 pagi. Dalam waktu yang sama, dua pimpinan puncak FKM, yaitu: dr. Alex Manuputty dan Semmy Waileruny, SH. Masing-masing mereka dijemput oleh tiga truk Kopassus secara terpisah. Cara penjemputan yang demonstratif ini kemudian dilengkapi dengan penerjunan satu Batalyon TNI dari Ternate. Dengan disorot ole TV, Pangdam Pattimura menegaskan bahwa telah disipakna paling-kurang lima kompi untuk menindak RMS/FKM bila mereka benar-benar akan mngibarkan bendera. Semua kehebohan di lapangan dan di media local serta nasional jelas ditujukan untuk menyadarkan publik betapa digdaya dan berbahayanya kekuatan riel RMS/FKM di Ambon. Hasilnya, bukan saja rakyat Ambon menjadi panik dan ketakutan tetapi juga, dengan bantuan peliputan media yang luas, hantu RMS/FKM benar dapat meyakinkan publik lokal dan nasional bahwa memang RMS/FKM itu suatu ancaman riel bagi NKRI.

Ternyata, setelah semua hingar-bingar persiapan anitisipasi itu, pada hari H nya RMS/FKM tetap dapat mengibarkan bendera mereka justeru di titik-titik yang telah diantisipasi dan oleh orang-orang yang telah diidentifisir. Kecolongan kah aparat keamanan Republik ? Mungkin ya mungkin juga tidak. Adalah sangat menyolok bila pengibaran bendera itu terjadi hanya 50 meter dari Mapolda Maluku di sebuah SMU. Apa yang sebetulnya sedang terjadi ? Mengapa kinerja aparat keamanan sebelum dan sesudah Malino II masih tetap lambat dan lamban ? Kalau memang ada cukup bukti kuat bahwa RMS dan FKM memang sedang berusaha memisahkan Maluku dari NKRI, maka segera tindak mereka melalui jalur hukum secara tegas transparan. Bila hanya didengung-dengungkan tanpa tindakan tegas dan konsisten maka sukar untuk dihindari kesan bahwa aparat keamanan sedang memelihara gagasan separatisme RMS agar tetap hidup untuk diproyekkan.

Dalam ketidak-jelasan ini muncullah berbagai penjelasan yang diajukan berbagai pihak untuk dapat memahami keadan yang sedang berlangsung. Salah-satu dari penjelasan itu adalah bahwa secar sitematuis konflik Ambon sedang dirubah dari konflik horizontal menjadi konflik vertikal. Karena hanya dengan demikianlah pihak militer dapat merebut kembali kendali penyelesaian konflik Ambon dari tangan sipil. Untuk tujuan apakah pengambi-alihan kendali ini diperlukan oleh pihak militer ? Paling-kurang ada dua hal yang menggoda, yaitu: dengan habisnya masa jabatan Gubernur sekarang ini jelas akan ada pemilihan untuk kursi M 1 ini dalam waktu dekat. Kedua, di Seram Utara, Timur dan Selatan ditemukan kandungan deposit minyak yang sangat banyak. Perusahaan minyak Kuwait telah memulai eksplorasi dengan investasi awal sebanyak 500 juta US dollar. Dugaan ini semakin diperkuat dengan penyerangan atas desa Soya. Penyerangan yang didahului oleh pemadaman listrik itu menurut banyak saksi mata dilakukan oleh kelompok ber “loreng” yang sangat terlatih. Pengalihan konflik ke fase terbaru dengan fokus issue separatisme RMS/FKM dalam waktu singkat akan juga menyeret kedua ummat beragama yang telah sepakat berdamai itu ke dalam suatu kancah konflik yang tak berakhir. Dengan itu proses perdamaian yang telah sempat digulirkan oleh inisiatif Malino II, terancam gagal. Tamrin Amal Tomagola adalah Sosiolog Universitas Indonesia Jacky Manuputty adalah pendeta yang bertugas di Ambon, salah-satu Penandatangan Kespakatan Malino II 

4.a Cara Penyelesaian Konflik Ambon, yaitu:
Cara penyelesaian konflik hendaknya menggunakan model-model penyelesaian yang disesuaikan dengan kondisi wilayah serta budaya setempat. Ideal apabila penyelesaian tersebut dilakukan atas inisiatif penuh dari masyarakat bawah yang masih memegang teguh adat lokal serta sadar akan rekayasa tangan-tangan kotor yang merusak keharmonisan persaudaraan lintas agama, suku, ras antar golongan selama ini. Adalah menarik untuk kita catat sebagai suatu contoh model penyelesaian konflik melalui jalur adat lokal yaitu peredaan konflik antara Desa Passo (komunitas Kristen) dan Desa Batu Merah (komunitas Islam) di Ambon. Dengan semangat dan kesadaran yang tinggi masyarakat kedua desa telah bergotong royong secara adat memperbaiki rumah ibadah masjid dan gereja yang rusak, sedangkan peresmiannya telah dikukuhkan secara adat pula pada 4 September 2002 yang lalu. Peristiwa itu merupakan usaha awal perdamaian yang menyeluruh tidak muncul begitu saja tanpa persiapan yang matang, ulet dan pantang menyerah dari berbagai pihak terkait.

Konsepsi pendekatan yang jitu melalui model penyelesaian budaya akar rumput yang dilakukan oleh Fanny Habibie, Peter Hehamahua, Jhon P., dan kawan-kawan bersama para raja, tetua, kawan-kawan di Desa Passo dan Desa Batu Merah dengan restu dari pejabat pemerintah/aparat keamanan setempat. Persiapan sampai dengan pelaksanaannya memakan waktu sekitar lima bulan lebih. Sangat disayangkan adanya pelontaran ”isu oleh sementara kelompok” yang menuduh Fanny (sudah lama diangkat sebagai warga Maluku) dan kawan-kawannya berambisi merebut kursi Gubernur Maluku. Padahal peristiwa rukun adat tersebut sedikit banyak merupakan hasil pemikiran murni dari segelintir putera-putera Maluku tanpa pamrih apapun tetapi berjiwa nasionalis. Dan tentu kesempatan ini terbuka bagi siapa saja yang cinta damai.Setelah upacara adat di atas tanpa diperkirakan sebelumnya muncullah reaksi spontan dari raja-raja pulau Ambon yang mewakili komunitas Islam dan Kristen serta rektor dan staf Unpatti yang memutuskan untuk membentuk forum diskusi antar raja-raja pulau Ambon dan Latupati (Saparua, Haruku, Nusa Laut) dalam rangka penyelesaian masalah konflik Maluku secara adat. Reaksi positif berikutnya terjadi lagi pada hari Sabtu, 7 September 2002 dimana para raja dari Galala, Halong, Latta, Lateri, Hatiwe Kecil bersama komunitas warganya sekitar seratus orang mengunjungi desa Hitu Meseng (komunitas Islam, pela dari kelima negeri Kristen di atas) untuk tujuan silaturahmi. Bukankah fenomena ini merupakan awal dari itikad suci arus bawah yang semakin kuat mendambakan perdamaian abadi di tanah Ambon Manise?

Semangat perdamaian juga tercermin dari hasil diskusi para mahasiswa bersama rektor dan staf Unpatti, yang bertekad bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama Unpati harus dibangun kembali secara gotong royong karena dari sinilah akan muncul manusia-manusia intelektual yang berkualitas serta berahlak guna mensejahterakan daerah seribu pulau itu. Syaratnya sederhana, para ”pemrakarsa perdamaian” harus memahami benar budaya lokal, jujur, tanpa pamrih, dikenal dan dipercaya oleh akar rumput. Dan yang terpenting dalam membangun kembali budaya pela gandung ialah segera merestrukturisasi desa yang ada sekarang dengan tatanan adat negeri. Pengalaman di Timor Timur jangan terulang kembali. Tentu maksud dan harapan masyarakat akar rumput Maluku/Ambon ini, harus ditunjang pula oleh upaya serta tindakan hukum yang nyata dan tegas, karena sangat penting untuk mengembalikan keamanan, kepercayaan, ketertiban masyarakat terhadap anasir-anasir yang tidak ingin melihat Ambon tenang dan damai.

4.b Faktor yang mengintegrasikan masyarakat Ambon dari konflik adalah:   
Konflik-konflik sosial yang muncul lebih disebabkan karena sentiment keagamaan dan sentiment kesukuan ini akhirnya disadari oleh masyarakat. Dengan mengakui kemejemukan masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama dan kebudayaan.
Upaya serta tindakan hukum yang nyata dan tegas oleh pemerintah sangat penting dalam tumbuhnya landasan coercion sebagai factor terintegrasinya Ambon.
Keinginan kuat dari masyarakat untuk lepas dari daerah konflikpun menjadi factor penting terintegrasinya masyarakat Ambon ini.


KESIMPULAN

Seperti sebelumnya kita tau, masyarakat Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa, agama dan kebudayaan telah mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia bersifat majemuk. Perbedaaan-perbedaan yang ada merupakan kekayaan nasional yang semakin memperkaya kebudayaan Indonesia. Disamping itu strukur masyaraat Indonesia yang plural juga menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia dapat terintegrasi secara nasional. Menurut penganut pandangan fungsionalisme struktural bahwa untuk mengintegrasikan masyakat yang majemuk dibutuhkan faktor yang disepakati bersama atau consensus nasional.

Sedangkan Parsons mengemukakan bahwa kelangsungan hidup masyarakat Indonesia tidak hanya menuntut pada konsensus masyarakat Indonesia tersebut harus benar-benar dihayati melalui proses sosialisasi. Masyarakat Indonesia sepakat bahwa secara yuridis formal, Pancasila sebagai dasar falsafah Negara merupakan salah satu konsensus yang disepakati. Selanjutnya masyarakat Indonesia setuju tentang Bhineka Tunggal Ika karena mereka menyadari bahwa Indonesia memiliki beragam suku, agama dan kebudayaan yang bersatu dalam NKRI. Lalu prinsip Pancasila diturunkan dalam bentuk norma hukum berupa UUD 1945 dan berbagai Perpu.

Kemejemukan masyarakat Indonesia dilain sisi juga menimbulkan ancaman terhadap kesatuan bangsa. Konflik-konflik sosial yang muncul lebih disebabkan karena sentiment keagamaan dan sentiment kesukuan, misalnya kasus yang terjadi di Ambon. Dalam penyelesaiannya diperlukan peranan pemerintah dalam hal ini sebagai wasit sehingga integrasi yang tumbuh diatas landasan coercion (paksaan). Dilain pihak integrasi timbul karena kesepakatan terhadap nilai-nilai yang fundamental, misalnya Pancasila, bhineka tunggal ika, UUD 1945 dan sebagainya.

SUMBER :

http://umum.kompasiana.com
http://id.wikipedia.org
http://regional.kompas.com
http://news.okezone.com
http://wiki.bestlagu.com
http://www.komunitasdemokrasi.or.id

0 komentar:

Posting Komentar

Followers